Kompetensi Absolut-Relatif Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama

 KOMPETENSI ABSOLUT-RELATIF 

PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA

Disusun Guna Memenuhi Tugas UTS

Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata

Dosen Pengampu : Dr.Supriyadi, M.H.



Oleh, 

Mohamad Iqbal Fanani

2020110033

HKI B/Semester 4



PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN AKADEMIK 2021/2022




A.  PENDAHULUAN 

Indonesia adalah Negara hukum begitulah bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya memiliki lembaga- lembaga pemerintahan, salah satunya lembaga yudikatif sebagaimana terlihat dari Pasal 24 Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lembaga peradilan juga termasuk dalam lembaga Yudikatif. Dimana lembaga Peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan  otonom, salah satu unsur penting dalam lembaga peradilan adalah Hakim. Sejalan dengan hal tersebut, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang dimaksud mencakup 4 (empat) wilayah hukum, yang secara resmi diakui dan berlaku di Indonesia yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. 

Keempat lembaga peradilan tersebut, masing-masing memiliki kekuasaan (kewenangan) yang terdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak atau absolut (absolute competentie). Kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan atau kewenangan untuk mengatur pembagian kekuasaan mengadili pengadilan yang serupa tergantung sari tempat dari tempat tinggal tergugat. Sedangkan kewenangan absolut (kekuasaan mutlak) berkaitan dengan wewenang suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain atau menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan. Untuk itu penulis hanya membahas tentang kompetensi absolut pengadilan negeri dan pengadilan agama serta kompetensi relatif pengadilan negeri dan pengadilan agama. 

B. KOMPETENSI ABSOLUT 

1. Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri

Tugas pokok dari Pengadilan Negeri adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri mempunyai wewenang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama terutama dalam hal perdata maupun pidana sesuai dengan pasal 50 Undang-undang No 8 Tahun 2004.

Kekuasaan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi sengketa tentang hal milik atau hak-hak yang timbul kerena keperdataan lainnya, kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutuskan, misalnya perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang hubungan sewa menyewa perumahan, khususnya mengenai penghentian hubungan sewa menyewa perumahan tanpa kata sepakat dari kedua belah pihak, hanya dapat dilakukan dengan putusan Pengadilan Negeri. 

Perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, utang piutang atau hak-hak keperdataan lainnya (pasal 2 ayat 1 Reglemen op de Rechterlijke Organisatie). Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perkara perdata meliputi perkara yang mengandung sengketa (contentieus) maupun yang tidak mengandung sengketa atau bersifat permohonan (volunteer). Didalam prakteknya tuntutan yang tidak mengandung sengketa, jarang menimbulkan masalah, terutama mengenai penetapan ahli waris (fatwa waris). 

Wewenang Pengadilan Negeri seperti yang diuraikan diatas sering disebut kompetensi absolut, yaitu wewenang badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan pengadilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi), maupun dalam lingkungan pengadilan lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama). Biasanya kompetensi absolut ini tergantung pada isi gugatannya, yaitu nilai dari gugatan (pasal 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947).

2. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama

Kekuasaan artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingakatan pengadilan lainnya. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 1 ayat 1 , pasal 49, dan pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, uraian bahwa Pengadilan Agama memiliki kekuasaan absolut, misalnya Pengadilan Agama berkuasa atas perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama berkuasa memeriksa dan mengadili perkara pada tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi. 

Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan  kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya, maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut "eksepsi absolut" dan jenis eksepsi ini boleh diajukan  sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan saja. 

C. KOMPETENSI RELATIF

1. Kompetensi Relatif Pengadilan Negeri 

Kompetensi relatif diatur dalam pasal 118 HIR (pasal 142 Rbg). Sebagai asas ditentukannya bahwa Pengadilan Negeri ditempat tergugat tinggal (mempunyai alamat, berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak (pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg). Jadi gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri ditempat tergugat tinggal. Kalau Penggugat bertempat tinggal di Tuban, sedang Tergugat bertempat tinggal di Kudus. Kiranya tidaklah layak apabila tergugat harus menghadap ke Pengadilan Negeri ditempat penggugat tinggal. 

Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal atau tempat tinggalnya yang nyata tidak dikenal atau tergugat tidak dikenal maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri ditempat tergugat sebenarnya tinggal (pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg). Kemudian apabila dipilih tempat tinggal, penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut  (Pasal 118 ayat 4 HIR, 142 ayat 4 Rbg). Pemilihan tempat tinggal oleh kedua belah pihak ini harus dilakukan dengan akta (pasal 24 Burgelijk Wetboek). 

Jika yang digugat lebih dari seseorang tergugat dan mereka ini tidak tinggal dalam satu wilayah hukum suatu Pengadilan Negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri ditempat salah seorang tergugat tinggal. Penggugat dapat memilih tempat tinggal dari salah seorang tergugat  (pasal 118 ayat 2 HIR, pasal 142 ayat 3 Rbg). Dan Apabila gugatan ini mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri ditempat benda tetap itu terletak (pasal 118 ayat 3 HIR, pasal 142 ayat 5 Rbg). 

2. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaanya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misal Pengadilan Agama Tuban dengan Pengadilan Agama Kudus. Sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menjelaskan bahwa pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada dikota madya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian. 

Jadi, Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai yurisdiksi relatif tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau kurang, contoh di Kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi trnsportasi sulit. Yurisdiksi relatif ini memiliki arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat. Teori pengajuan gugatan di Pengadilan Agama ini sama dengan teori hukum acara perdata di Peradilan Umum. 

D. Kesimpulan

Dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan terdapat aspek kompentesi yang harus diperhatikan. Kompentensi dapat diartikan sebagai kewenangan mengadili suatu pengadilan. Artinya, suatu pengadilan baru dapat memutus suatu perkara apabila sesuai dengan kompentesinya atau kewenangannya. Jadi, penting bagi para pihak untuk melihat sejauhmana kompentensi atau kewenangan suatu pengadilan sebelum memutuskan untuk mengajukan sengketa/perkara-nya ke pengadilan. Sebab, apabila para pihak tetap mengajukan sengketa/perkara-nya ke pengadilan, sedangkan pengadilan tersebut tidak memiliki kompentensi atau kewenangan untuk mengadilinya, maka sengketa/perkara tersebut dinyatakan “tidak dapat diterima”. Khusus untuk perkara perdata,  kompensi pengadilan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu kompentesi relatif dan kompetensi absolut. 


Rujukan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 

Mertokusumo, Sudikno. 2010.Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 

Soesilo. 1995. RIB/HIR Dengan Penjelasan. Bogor : Politeia. 

Rasyid, Roihan A. 2015. Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru). Depok : PT Rajagrafindo Persada. 


Postingan populer dari blog ini

Sekilas Tentang Sejarah Tumenggung Aryo Tejo

Petuah Akhir Zaman Sang Pujangga

Sejarah Hukum Perdata di Indonesia