Sejarah Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia paling tidak diawali pada masa pergerakan nasional yang diinisiasi oleh Budi Utomo pada tahun 1908, kemudian Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada masa menuju kemerdekaan inilah segenap komponen bangsa bersatu padu demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali Santri, maka sudah tepat pada tanggal 22 Oktober nanti diperingati hari santri. Kaum santri bukan hanya belajar mengaji akan tetapi juga mengangkat senjata demi mewujudkan kemerdekaan NKRI.
Dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti :
- menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- sejak saat itu berarti bangsa Indonsia telah mengambil keputusan (sikap politik hukum) untuk menetapkan tata hukum Indonesia.
Sikap politik hukum bangsa Indonesia yang menetapkan tata hukum Indonesia tersebut tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia..….disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”.
Sikap politik hukum untuk memberlakukan hukum masa sebelum kemerdekaan juga dicantumkan dalam pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 (sebelum diamandemen), yang menyatakan “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Adapun ketentuan peralihan UUD RIS 1949 dimuat dalam pasal 192 yang menyatakan “Peraturan-peraturanUndang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undan-gundang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini (ayat 1). Pelanjutan peraturan-peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yan sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat satu hanya berlaku, sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pemulihan Kedaulatan, Statut Uni, persetujuan Peralihan ataupun Persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak berlawanan dengan ketentuan-ketentuan konstitusi ini yang tidak memerlukan peraturan Undang-undang atau tindakan-tindakan penjalankan (ayat 2)”.
Sedangkan ketentuan Peralihan UUDS 1950 tercantum dalam pasal 142 menyebutkan bahwa “Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peratuan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”.
Kemudian, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali berlakunya UUD 1945, maka berdasarkan pasal II Aturan Peralihannya segala peaturanperaturan hukum yang berlaku sebelum Dekrit Presiden masih tetap berlaku, termasuk hukum (peraturan perundang-undangan) yang berlaku pada zaman Hindia Belanda (sebelum kemerdekaan Indonesia). Hukum atau peraturan perundang- udangan peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda tersebut antara lain :
1. Reglemen op de Rechterlijke Organisatie (R.O.) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (O.P.);
2. Alegemene Bepalingen van Wetgeving (A.B.) atau Ketentuan umum tentang perundan-gundangan;
3. Burgerlijk Weboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K.);
4. Reglemen of de Burgerlijk Rechsvordering (R.V.) atau peraturan tentang Acara Perdata (A.P.);
5. Wetboek van Straafrecht (W.v.S.) atau KUHP diundangkan pada tanggal 1 Januari 1915 berdasarkan Stb. 1915 732 berlaku untuk semua golongan penduduk Hindia Belanda;
6. Herziene Indonesische Reglement = Reglement Indonesia Diperbaharui (RIB). HIR atau RIB ini berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana untuk Jawa dan Madura.
7. Rechtsreglement Buitengewesten untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 927-227 pada tanggal 1 Juli 1927.
Empat buah Kitab undang-undang (kodifikasi) yakni R.O, A.B, B.W, W.v.K berlakunya di Hindia Belanda pada tanggal 30 April 1847 berdasarkan Stb. 1847 23. Untuk memungkinkan berlakunya hukum Belanda bagi golongan penduduk bukan Belanda (Eropa), oleh Pemerintah Hindia Belanda dikeluarkan Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda atau yang disebut “Indische Staatsregeling” (I.S.) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 melalui Stb. 1925-577.
Kitab-kitab hukum tersebut berlakunya di Hindia Belanda (Indonesia) didasarkan atas “asas konkordansi” atau asas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain (Belanda) diberlakukan sama di tempat lain (Hindia Belanda). Asas Konkordansi (concordantie beginsel) ini diatur dalam Pasal 131 ayat (2) Indische Staatsregeling (I.S). Maksud asas konkordansi tersebut adalah “bahwa terhadap orang Eropa yang berada di Hindia Belanda (Indonesia) diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda”.
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) IS tersebut, maka hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda dan orang-orang yang disamakan dengan golongan penduduk/orang Belanda di Indonesia harus diberlakukan sama dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Jadi tidak ada perbedaan atau diskriminasi pemberlakuan hukum antara penduduk di negara Belanda dengan penduduk di Hindia Belanda (Indonesia).
Mengenai pembagian golongan penduduk Hindia Belanda (saat itu) dan macam-macam hukum (perdata dan dagang) yang berlaku untuk masing-masing golongan penduduk diatur dalam pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (I.S.). Pasal 131 I.S. berasal dari pasal 75 R.R. lama (Stb. 1855-2). RR singkatan dari Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands Indie disingkat Regeringsreglemen (R.R. = Peraturan Pemerintah). R.R. lama itu akhirnya diubah menjadi Inidische Staatsregeling (I.S.) Stb. 1925-415 dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 menurut Stb. 1925-577. Pasal 131 I.S. merupakan dasar berlakunya B.W. dan W.v.K. di Hindia Belanda. I.S. merupakan pedoman politik hukum pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum-hukum Belanda di Hindia Belanda.
Pasal 131 I.S. terdiri dari 6 ayat yang menyatakan :
Ayat 1. hukum perdata, hukum dagang dan hukum pidana begitu pula hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diatur dalam bentuk undang-undangatau ordonansi;
Ayat 2 sub. a terhadap golongan Eropa harus diberlakukan perundangundangan yang berlaku di
negara Belanda dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang (asas konkordansi);
Ayat 2 sub.b terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, dapat diberlakukan terhadap hukum Eropa dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang bilamana masyarakat menghendaki;
Ayat 3 Untuk hukum acara perdata dan acara pidana berlaku ketentuan yang sama seperti mengenai hukum pidana;
Ayat 4 Orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing, diperbolekan menundukkan diri (onderwerpen) kepada Hukum Eropa baik sebagian atau keseluruhannya. Ketentuan dan akibatnya diatur dengan undang-undang atau ordonansi.
Ayat 5 di daerah-daerah yang berlaku hukum adat, berdasarkan pasal ini diyatakan tidak berlakunya ordonansi;
Ayat 6 hukum adat yang masih berlaku terhadap orang Indonesia asli (Pribumi) dan Timur Asing masih tetap berlaku selama belum diatur dalam undang-undang atau ordonansi
Pemberlakuan kembali hukum (peraturan perundang-undangan kolonial) oleh pasal-pasal Aturan Peralihan UUD 1945 setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak adapat dikatakan bahwa tata hukum Indonesia merupakan kelanjutan dari tata hukum kolonial Belanda atau Jepang. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan kolonial dimaksudkan bersifat sementara untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum selama tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berUndang-Undang Dasar 1945.
Berlakunya kembali UUD 1945 termasuk Pasal II Aturan Peralihannya menimbulkan permasalahan dalam pemberlakuan hukum (peraturan perundang-undangan). Permasalahannya adalah : Apakah peraturan perundang-undangan yang dibuat atau diberlakukan atau hasil produk UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959).
Dalam perkembanganya kerangka pengembangan hukum yang lebih besar tertuang dalam Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 tentang GBHN tersebut, dapat disimpulkan adanya 2 (dua) tahap pembangunan hukum, yaitu:
1. Tahap pembangunan hukum jangka panjang yang bertujuan mengganti tata hukum yang sekarang dengan tata hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Indonesia yang sedang mengalami proses pembangunan di segala bidang. Pembangunan hukum disini harus mencakup segala lapangan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat, baik lapangan hukum perdata, pidana, acara dan sebagainya.
2. Tahap pembangunan hukum jangka pendek, pembangunan hukum pada tahap ini bersifat sektoral yaitu pembangunan yang menyangkut cabang hukum tertentu.
Sudah sepatutnya dalam mengembangkan hukum di Indonesia (Hukum Nasional) perlu ditekankan pada tujuan dibangunnya Negara Indonesia, tujuan tersebut tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu ada garis besar atau haluan yang dpat menentukan arah kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional). Politik Hukum Nasional yang bertujuan meletakkan dasar-dasar negara Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) yang demokratis dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta berkeTuhanan Yang Maha Esa. Salah satunya adalah mengganti hukum warisan kolonial dengan hukum yang berwatak nasional (NKRI).
1. Asis Safioedin. 1989. Beberapa hal tentang Burgerlijk Wetboek. Alumni. Bandung. hlm.3.
2. R. Subekti. 1977. Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta. hlm.11
3. id. Wikipedia indonesia